Sunday, April 7, 2024

Pak H. Prabowo Subianto tebar Infaq dan shodaqoh untuk Jamaah Pesantren Suryamedar Syaikh Arif melalui Ketum GERNAS PG Abah Anton Charlian

 Bandung, Suryamedar.Com


Romadhon bulan yang penuh berkah dan segala amal kebaikanpun dipermudah oleh Allah SWT, hal tersebut dirasakan oleh Jamaah dan Santri Pesantren Suryamedar, terlampir sebagian dokumentasi pembagian Mushaf Al Qur'an, Sarung dan Kerudung yang dibagikan oleh Syaikh Arif Nujaba selaku Pengasuh Jama'ah Pesantren Suryamedar, meski tidak semua terbagi rata tetapi beberapa jamaah khusus yang kebetulan dekat dengan kediaman beliau mendapatkan titipan dari bapak Prabowo tersebut, diantara kegiatan pembagian Wakaf mushaf dan Infaq teraebut diadakan setelah acara khotmil quran di masjid nurul iman, karena syaikh arif juga memiliki jadwal rutin ngaji berasamanya dan tidak jauh dari  markaz jam'iyah pesantren suryamedar pusat, ia menuturkan :

"Beberapa hari yang lalu saya mampir ke kediaman Abah Anton di Bandung, kebetulan beliau sedang ada ditempat namun sudah persiapan pulang ke Tasikmalaya karena sudah ada beberapa agenda menanti, namun ternyata beliau sudah menyiapkan bingkisan yang isinya beberapa Mushaf Al Qur'an, Sarung dan Kerudung untuk di bagikan ke beberapa jamaah pesantren Suryamedar, beliau menyampaikan bahwa infaq sedekah tersebut merupakan titipan dari bapak H Prabowo Subianto yang di sebar melalui Ketum GERNAS Prabowo Gibran yang saat ini lebih dikenal Abah Anton, beliau merupakan salahsatu Orangtua kami juga sebagai dewan pakar di Pesantren Suryamedar khususnya dalam bidang Politik & Kebangsaan, namun hampir semua spirit kebangkitan kamipun juga atas bimbingan beliau, Pesantren Suryamedar memang kami dirikan dengan berpegang teguh  pada Akidah Ahlussunnah wal Jamaah An Nahdliyah dengan tetap melestarikan kearifan lokal yang ada di Indonesia, semangat kearifan lokal ini menjadi salahsatu corak untuk menjadi Pesantren Kebangsaan, apalagi akhir-akhir ini sering kita melihat generasi muda banyak yang kurang mengenal jatidiri sebagai bangsa Indonesia yang besar dan mulia, kami berdoa semoga Pak Prabowo juga Abah Anton serta semua yang akan terlibat mengurus pemerintahan ini yang akan segera dipimpin olehnya agar ditambah-tambah keberkahannya oleh Allah SWT, dijaga  serta diselamatkan lahir batinnya, dan kami ucapkan jazakumullohu Khoirun katsiron fiddunyaa wal akhiroh, selamat hari raya idul Fitri semoga setiap ibadah kita diterima olehNya." 



Demikian kutipan yang disampaikan oleh Syaikh Arif Nujaba Al Banyumasyi selaku Pengasuh / Pimpinan Jam'iyah Pesantren Suryamedar yang berpusat di Cileunyi Kabupaten Bandung, dan seperti yang kita ketahui beliau memiliki jadwal rutinan majelis / pengajian di beberapa tempat untuk terus menambah atau menguatkan pengetahuan jamaah / santrinya, jadi bukan hanya fokus mengasuh santri yang mukim / berdiam di pondok saja tetapi keliling sesuai jadwal yang sudah ditetapkan, adapun untuk mengurus santri yang masih anak-anak hingga remaja yang mukim dan yang ngalong (warga sekitar) setiap harinya di asuh oleh istri beliau, karena masih banyak kegiatan diluar baik kepentingan dakwah maupun khidmat secara luas juga usaha bisnis yang beliau jalankan. 




Thursday, April 4, 2024

Dr. Rosye dukung H. Saiful Huda (Ketua DPW PKB) untuk mengikuti Pilkada Jawa Barat

 Bandung, Suryamedar.Com 

Pemilihan kepala Daerah serentak akan diadakan beberapa bulan kedepan, saat ini mulai tampak beberapa pejabat publik yang sedang berkompetisi untuk meraih suara rakyat terbanyak, Jawa Barat juga termasuk Daerah yang akan ikut didalam kontes demokrasi tersebut.


Ditemui oleh kontributor Suryamedar.Com, Dr. Rosye Rosaria Zaena., SE., MSI., AK., CA., CPRM., CAVP yang merupakan salahsatu peserta Calon DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa untuk Dapil Jabar satu menyampaikan dukungannya untuk Ketua DPW Jabar H. Saiful Huda agar mengikuti kontestan tersebut.


Sunday, February 4, 2024

Eyang Santri, Pendukung Diponegoro di Kaki Gunung Salak

Hampir 66 tahun, sosok Pangeran Djojokusumo menghilang dari peredaran setelah Perang Jawa selesai pada 1830. Pendukung dan penyokong dana Pangeran Diponegoro itu bersembunyi di kaki Gunung Salak menjadi seorang kiai, Eyang Santri Girijaya.


Desa Girijaya, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, merupakan salah satu jalur pendakian menuju Puncak 1 Gunung Salak, yang mempunyai ketinggian 2.211 meter di atas permukaan laut (mdpl). Udara sejuk menambah keasrian pemandangan perkebunan, persawahan, dan permukiman penduduk. Dari kejauhan terlihat rapatnya pepohonan hutan tropis di lereng gunung.

Para pendaki gunung atau wisatawan yang menempuh jalur tersebut akan melewati sebuah kompleks pemakaman bernama Astana Girijaya. Di kompleks pemakaman itu terbaring sosok kiai bernama Muhammad Santri. Masyarakat sekitar mengenal sang kiai dengan sebutan Eyang Santri Girijaya. Ironisnya, tak semuanya tahu mengenai sosok Eyang Santri.

Bangunan Astana Girijaya tertata cukup rapi dengan benteng tembok bercat putih dan berpintu kayu jati. Cungkupnya mirip dengan bangunan khas pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, walau ini versi mininya. Tak jauh dari astana itu terdapat plang warna hijau bertulisan ‘Astana Girijaya K.P.H Djojokoesoemo (Kyai Muhammad Santri). Mangkunagaran Surakarta Hadiningrat'.

Dari penelusuran detikX, tokoh Eyang Santri atau Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Djojokusumo merupakan salah satu pendukung Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa, yang berkobar pada 1825-1830. Ia disebutkan melarikan diri dari Keraton Mangkunegaran Surakarta karena diburu pasukan Belanda dan antek-anteknya, yang tak lain kerabat Keraton sendiri, ke wilayah Jawa Barat, persisnya ke Cidahu.

“Jejaknya menghilang dari peredaran selama 66 tahun,” kata Raden Ayu Ahdiyati Samita, salah satu cucu Eyang Santri Girijaya (KPH Djojokusumo), yang ditemui detikX di rumahnya yang berada di samping Kompleks Astana Girijaya, Selasa, 21 Juni 2022.

Demi negeri ini, beliau menanggalkan gelar bangsawannya. Dia tinggalkan istananya yang megah demi negeri ini."

Menurut perempuan berusia 71 tahun yang akrab disapa Bu Hajah Tito itu, kakeknya lahir pada 1771 di Keraton Mangkunegaran dan wafat pada 1929 di Girijaya pada usia 158 tahun. Ia merupakan putra pasangan KPH Prabuwijoyo I dan Tri Kusumo, putri Cakraningrat dari Madura. Djojokusumo masih terhitung cucu Pangeran Samber Nyowo (Raden Mas Said), pendiri trah Dinasti Mangkunegaran.

Ia juga memiliki darah keturunan Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo, Panembahan Senopati (Danang Sutawijoyo), Ki Ageng Selo, hingga ke Bondan Kejawen dan Raja Majapahit Brawijaya V. Eyang Santri juga memiliki darah keturunan dari Wali Songo dan Raden Patah Demak, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Ampel, dan Syekh Maulana Maghribi. “Jadi dari garis ibu, Eyang Santri ada keturunan Wali Songo,” tutur Hajah Tito.

Hajah Tito menuturkan, kakeknya terlibat dalam Perang Jawa sebagai pendukung Diponegoro bersama Raja Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwono VI. Djojokusumo memiliki kekerabatan yang erat dengan Diponegoro karena merupakan paman dan keponakan. Dalam Perang Jawa, Diponegoro didanai Pakubuwono VI, yang uangnya dicarikan oleh Djojokusumo.

“Jadi penyandang dana Perang Diponegoro adalah Pakubuwono VI dan yang mencarikan dananya, ya, Pangeran Djojokusumo. Waktu itu belum pakai nama Eyang Santri. Itu buat biaya Perang Jawa selama lima tahun dari 1825 sampai 1830,” jelas Hajah Tito.

Dalam buku Kuasa Ramalan jilid 2 karya Peter Carey (2012), Diponegoro kerap melakukan pertemuan rahasia dengan beberapa sekutu bekas Raja Yogyakarta kedua, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono II, yang juga kakek Diponegoro sendiri. Salah satunya adalah dengan Djojokusumo, yang dikenal sebagai pendukung Hamengku Buwono II paling gigih ketika melawan serangan pasukan Inggris ke Keraton Yogyakarta atau yang dikenal sebagai peristiwa Geger Sepehi (Sepoy) pada Juni 1812.
Diponegoro bertemu dengan Djojokusumo dan adiknya untuk berkoordinasi rencana penggalangan dukungan dari berbagai desa di tanah-jabatan mereka apabila perlawanan terhadap Belanda dimulai. “Pangeran Djojokusumo satu di antara pendukung tergigih bekas Raja Yogya itu pada saat serangan Inggris, Juni 1812, dan segera menjadi panglima tentara Diponegoro yang tepercaya,” tulis Peter Carey.
Ketika perang berakhir atau Diponegoro ditangkap Belanda, Pakubuwono VI juga ditangkap dan dibuang ke Ambon. Di kota pengasingan itulah Pakubuwono VI dieksekusi tembak mati. Sementara itu, Djojokusumo, yang juga dicurigai Belanda, keluar meninggalkan lingkungan Keraton Mangkunegaran.
“Demi negeri ini, beliau menanggalkan gelar bangsawannya. Dia tinggalkan istananya yang megah demi negeri ini. Betapa tidak enaknya Eyang Santri ketika hidup di luar Istana,” tutur Hajah Tito lagi.
Untuk menghindari kejaran pasukan Belanda dan antek-anteknya, Djojokusumo pergi mengembara ke arah barat Pulau Jawa selama 66 tahun. Ia sempat pergi ke Kebumen, Majalengka, Kuningan, Tasikmalaya, Karawang, sampai Banten. Ia selalu menutupi identitasnya dengan menggunakan nama samaran. Ketika di Kuningan ia menyandang nama Zakaria, dan di Cibatok, Bogor, menyandang nama Hasan.
Djojokusumo juga sempat tinggal di kawasan Pasir Jawa, Cigombong, Bogor, Jawa Barat. Di tempat itulah ia menikah dengan seorang gadis setempat bernama Iyok, tapi tak memiliki keturunan. Ia mengangkat anak bernama Raden Jayasumantri. Setelah itu, menikah lagi dengan Ratu Sarifah, salah seorang putri keturunan Pangeran Sogiri bin Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, yang tinggal di Cimaphar, Bogor.
Dari pernikahan kedua, Djojokusumo mendapatkan seorang putra bernama Raden Mas Suparman Jayakusuma, tak lain ayah kandung Bu Haji Titto (RA Ahdiyati Samita). “Nah, pas tinggal di Girijaya, Cidahu, Sukabumi tahun 1896, Djojokusumo menggunakan nama Kiai Muhammad Santri, Kiai Santri, atau Eyang Santri. Saat itu sudah menjadi guru Pakubuwono X. Disangka Belanda mah, Djojokusumo sudah meninggal dunia,” jelas Hajah Tito lagi.
Hajah Tito menunjukkan sejumlah dokumen autentik tentang keberadaan sosok kakeknya itu. Di antaranya sebuah buku tulisan tangan Eyang Santri berisi pesan-pesan untuk kalangan Keraton Mangkunegaran beraksara Jawa. Peninggalan milik Eyang Santri berupa kitab Tarekat Syattariyah karya Abdullah Asy-Syatar bertuliskan Jawa pegon.
Tarekat Syattariyah ini berkembang di Nusantara sejak abad ke-15 melalui para bangsawan di Cirebon ke keraton-keraton lainnya. Mereka yang menganut tarekat ini mayoritas memilih meninggalkan keraton. Mereka memilih menjadi kiai, ulama, atau membangun pondok pesantren. Mereka ini sangat benci terhadap penjajah Belanda, seperti halnya Diponegoro dan Djojokusumo. 
Bahkan Eyang Santri dianggap sebagai salah seorang mursyid Tarekat Syattariyah sesuai penelitian yang dilakukan oleh Dr KH Ali M Abdillah, pengasuh Pondok Pesantren Al Rabbani Islamic Collage, Cikeas, Bogor. Saat itu Kiai Ali tengah merampungkan disertasi doktoralnya di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat.
Ia mengkaji ajaran sufisme yang dikembangkan Eyang Santri. Hasilnya dibukukan dengan judul Sufisme Jawa, Ajaran Martabat Tujuh Sufi Agung Mangkunegaran Kyai Muhammad Santri (2021). Dalam bukunya, disebutkan bahwa Eyang Santri merupakan tokoh tersembunyi yang memiliki peran penting dalam penyebaran ilmu tasawuf falsafi, sebagai tokoh perlawanan kolonialisme, dan tokoh penggerak kemerdekaan (nasionalisme).
Bukti autentik tentang Eyang Santri menjadi guru para pembesar Jawa dan orang Belanda pun tercantum di dalam buku Geschiedenis der Onndernemingen van Het Mangkoenagorosche Rijk yang ditulis Martinus Nijhoff pada 1950. Juga dalam buku Kenang-kenangan Dokter Soetoemo yang ditulis Paul W van der Veur pada 1921 dan diterbitkan pada 1984.
Sayangnya, selama ini orang tak banyak mengetahui sejarah Eyang Santri yang sebenarnya. “Jangankan tingkat nasional, di tingkat RT (rukun tetangga) dan RW (rukun warga) saja nggak ada yang tahu siapa Kiai Santri. Ini terlalu ironis sekali, karena mereka nggak ngerti sejarah,” pungkas Hajah Tito.
Dikutip dari News.Detik.Com